Minder atau kurang
percaya diri adalah hal wajar yang dialami setiap manuisa di awal masa
pertumbuhan dan perkembangan. Minder biasanya dialami siswa yang kurang
memiliki kontribusi atau kemampuan di antara teman-teman nya. Dewasa ini banyak
pelajar kita yang terhambat berprestasi karena rasa minder di waktu Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Rasa minder disebabkan oleh
beberapa hal yaitu pengaruh lingkungan, larangan berlebihan dari orang tua,
kebiasaan orang tua yang suka memarahi kesalahan anak. Selain itu, kurangnya
kasih sayang yang diberikan oleh keluarga sangat mendukung terbentuknya rasa
minder karena minimnya perhatian yang diberikan yang disebabkan kesibukan dan rutinitas
pekerjaan yang padat.
Minder umumnya berawal dari penilaian diri yang
buruk. Meurut Alfred Adler, kebanyakain orang merasa minder karena mengalami
inferioritas yang di tandai adanya perasaan tidak kompeten atau kurangnya
kemampuan diri. Perasaan ini bisa muncul karena orang tersebut merasa memiliki
kekurangan secara fisik maupun psikis. Seseorang yang selalu membandingkan
dirinya dengan orang lain, dan merasa dirinya lebih rendah, kakn memunculkan
rasa minder. Orang perfeksionis, yaitu orang yang sangat takut penampilannya
tidak memuaskan (penampilan fisik maupun hasil karyanya), juga menandakan bahwa
yang bersangkutan mengalami inferioritas. Karena merasa inferior, pada umumnya
mereka cenderung manarik diri dari lingkungan sosial. Menurut psikoanalisis,
perasaan inferior tumbuh sejak masa kanak-kanak.
Minder umumnya muncul dari pengalaman masa lalu. Seringkali pada
masa-masa perkembangan, anak-anak dikondisikan untuk merasa bahwa dirinya
memiliki hal yang memalukan. Dia merasa tidak sebaik orang lain. Perasaan
inferior seringkali tumbuh karena sikap atau perilaku orang tua, guru atau
orang dewasa lainnya, yang kurang tepat terhadap anak-anak. Orang dewasa
seringkali melakukan penolakan dan koreksi negatif terhadap anak-anak. Julukan
yang sifatnya olok-olok dan merendahkan yang terus dialami juga menjadi sebab
seseorang menjadi inferior. Disamping itu prefeksionisme orang tua yang meiliki
harapan terlalu tinggi dan tidak realistis terhadap anak juga turut mendorong
lahirnya sifat inferior. Ketika anak tersebut tidak dapat memenuhi harapan orang
tuanya, ia akan merasa tak mampu dan merasa tidak berguna sehingga munculah
minder. Dalam
komteks proses KBM, siswa minder cenderung berpikir negatif terhadap diri
sendiri atau meragukan kemampuan. Ia suka menyendiri dan sanagat berhati-hati
terhadap orang lain sehingga pergerakannya terlihat sangat kaku. Pergerakannya
agak terbatas, seolah-olah sadar bahwa dirinya memang mempunyai banyak
kekurangan. Tingkat kecurigaan terhadap orang lain sangat tinggi, baik terhadap
teman jauh dan dekat. Ia tidak percaya bahwa ia memiliki kelebihan yang
tertutupi oleh rasa minder tersebut.
Guru
yang baik adalah guru yang tidak hanya bisa mengajar dan membimbing siswa di
kelas, melainkan juga mampu menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa dalam
proses KBM. Minder pada anak dapat
diatsi dengan 2 aspek, yaitu :
Afektif
Menurut
teori afektif yang dikemukakan Eric Erikson, pada usia 12-18 tahun anak berada
pada fase Identitas Diri vs Kekacauan Peran dimana Pada usia ini anak mulai mengenal identitasnya, dan mengidentifikasikan
sifat yang ada dalam dirinya. Sebagai guru, maka kita harus mampu merangsang
atau mengajak siswa tampil dan berbicara di depan kelas agar lebih mengenal
diri dan mengenalkan dirinya kepada orang lain. Dengan tahapan awal menyanyi,
menari atau bercerita apapun yang ia suka di depan kelas. Mengkondisikan kelas
agar anak tersebut mendapat apresiasi dari guru dan temannya. Guru harus mampu
menekankan pada diri anak bahwa mereka patut dihargai karena memiliki potensi
yang luar biasa. Meningkatkan rasa percaya diri anak dapat dilakukan dengan
beberapa hal, yaitu berpikir positif yakin akan bisa, menenangkan diri atau
menghilangkan grogi serta menjernihkan pikiran. Setelah rasa percaya diri
terbangun perlahan, kita dapat membimbingnya untuk bagaiana cara public speking
yang baik dengan memperhatinkan Posisi Berdiri, kontak Mata, mimik, artikulasi
dan nada.
Kognitif
Menurut
teori yang dikemukakan John Piadget anak usia 11 tahun ke atasa masuk pada tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage). Tahap ini merupakan tahap akhir
dari perkembangan kognitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu
melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abtrak dan menggunakan
logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar
tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya berlangsung.
Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan
menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah
memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan
hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Maka sebagai guru kita harus mampu mendekatinya (mencari info
tentangnya) agar anak tersebut merasa diperhatikan. Setelah itu, guru memberi motivasi dan memberi
soal-soal latihan dalam bentuk cerita tanya jawab, soal latihan PR yang menarik
dan teka-teki logika. Hal ini bertujuan agar anak mampu mengembangkan kemampuan
kognitifnya. Selain itu, ia juga akan terpacu dan bersedia berdiskusi kepada
guru atau teman saat kesulitan dalam mengerjakan soal. Dengan demikian rasa
minder pada anak akan teratasi secara otomatis.
Posted by : syaiful's blog
Date :Kamis, 25 Desember 2014